Sabtu, 10 September 2011

Ibu Terinfeksi HIV Dapat Memberi ASI


Bagi ibu hamil yang mengidap HIV/AIDS tidak perlu was-was dalam memberikan ASI secara eksklusif kepada sang buah hati. Pasalnya, risiko penularan dapat ditekan melalui program Prevention Mother to Child Transmition (PMTCT).

Deputi Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) Bidang Program Dr. Fonny J Silfanus, M.Kes, menyatakan, melalui program PMTCT penularan HIV dari ibu kepada bayinya dapat dicegah sejak awal masa kehamilan.

Program PMTCT sebenarnya dapat dimulai sejak pasangan berencana mempunyai anak. Mereka yang terinfeksi harus berkonsultasi dengan dokter ahli. Kemudian ibu dengan HIV /AIDS akan mendapatkan terapi ARV profilaksis atau obat anti retroviral.

"Kalau dulu mulai (kehamilan) tujuh bulan baru dikasih, tapi sekarang enggak. Mulai 14 minggu sudah mulai dikasih. Tapi, kalau si ibu datang sudah lewat 14 minggu tetap dikasih," terangnya.

Menurut Fonny, dengan menggunakan obat anti retroviral, virus secara otomatis akan berkurang dalam tubuh pengidap. Semakin lama, diharapkan jumlahnya semakin menurun bahkan sampai tidak terdeteksi.

"Tapi virus tetap ada. Cuma kemungkinan dia menularkan kepada bayinya sudah kecil sekali, karena sudah minum anti retroviral," tambahnya.

Untuk meminimalisir penularan saat proses persalinan, ibu pengidap HIV biasanya dianjurkan untuk melakukan dengan cara caesar. Pasalnya, HIV banyak tersimpan di limfosit pada dinding rahim sehingga jika melahirkan dengan cara normal, bayi dikhawatirkan terpapar lebih lama dengan darah yang mengandung HIV.

Boleh berikan ASI Setelah melahirkan, ibu pengidap HIV positif yang minum obat anti retroviral boleh memberikan ASI kepada bayinya. Tetapi ada satu syarat yang harus dipenuhi yaitu memberikan ASI secara eksklusif selama enam bulan dan tidak boleh mencampur ASI dengan makanan lain.

"Karena kalau dicampur susu formula, nanti airnya tidak bersih (higienis), bisa infeksi usus. Kalau ASI, ya sudah ASI saja," tegasnya.

Menurut Fonny, sebenarnya ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah HIV/AIDS, seperti pemberian edukasi kepada calon ibu, termasuk para remaja.

Fonny mengimbau para ibu yang terkena HIV positif tetapu belum punya anak untuk melakukan konseling dan dianjurkan tidak hamil. "Karena kemungkinan bisa terjadi penularan. Tapi itu tetap hak asasi. Jadi ibu hamil HIV positif tetap boleh hamil," terangnya. (Kompas.com)

Data Komisi Penanggulangan AIDS Pengidap AIDS di Papua Mayoritas IRT

Pengidap penyakit HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura, Papua, pada 2010 didominasi ibu rumah tangga (IRT) yang mencapai 164 orang.

Sekertaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Jayapura, Purnomo, di Sentani, Senin (24/1/2011) mengatakan, penyakit ini lebih banyak ditularkan oleh pasangan atau suami terhadap istri. "Kaum ibu rumah tangga yang tertular dengan HIV/AIDS bukan karena perilaku mereka tapi ditularkan oleh suami yang tidak setia sama pasangan," katanya.

Ia menjelaskan, pada 2010 jumlah pengidap HIV/Aids di Kabupaten Jayapura yang mencapai 609 orang, yang terdiri dari laki-laki 242 orang, perempuan 367 orang, didominasi IRT 164 kasus, disusul lain-lain 124 kasus, PSK 102 kasus, buruh/petani 61 kasus, PNS 37 kasus, pelajar/mahasiswa 41 kasusu, swasta 57 kasus.

Dengan rincian usia 20-29 sebanyak 285 orang, usia 30-39 sebanyak 198 orang, usia 40-49 sebanyak 55 orang, usia 15-19 sebanyak 44 orang, dan usia 1-4 tahun 12 orang.

Sementara jumlah yang terbanyak dari Distrik Sentani 320 kasus, Sentani Timur 126 kasus, Kaureh 26 kasus, Nimboran 20 kasus, Distrik Sentani Barat 25 kasus. Sebagian besar pengidap HIV/AIDS di bumi Kenambay Umbay ini tertular melalui hubungan heteroseksual sebanyak 592 orang, ibu ke anak sebanyak 4 orang, transfusi darah sebanyak 7 orang.

Purnomo mengatakan, dengan semakin tingginya jumlah penderita penyakit yang mematikan di Kabupaten Jayapura, pihaknya tidak henti-hentinya melakukan sosialisasi hingga ke kampung-kampung. Menurutnya, dengan jumlah yang cukup besar ini adalah adalah ancaman bagi generasi muda Bangsa Indonesia. (Kompas.com)

PMTCT Minimalkan Risiko Bayi Terkena HIV


Berdasarkan penelitian di berbagai negara, wanita dengan HIV/ AIDS masih mempunyai harapan cerah, karena anak yang mereka kandung bisa tidak tertular HIV/AIDS dari orang tuanya. Pasalnya risiko penularan HIV /AIDS pada anak hanya sebesar 30 persen. Angka ini bahkan dapat diperkecil dengan penggunaan Prevention Mother to Child Transmition (PMTCT).

Demikian dikatakan Muhammad Ilhamy, Direktorat Bina Kesehatan Ibu dan Anak, Departemen Kesehatan, di Jakarta, Program PMTCT dapat dilakukan sejak awal kehamilan. Hal pertama yang harus dilakukan adalah saat pasangan berencana mempunyai anak. Mereka harus berkonsultasi dengan dokter ahli. Kemudian ibu dengan HIV /AIDS akan diberi ARV profilaksis (obat antiretroviral untuk mencegah) untuk menekan virus yang ada dalam tubuhnya. Obat tersebut harus dikonsumsi sampai masa persalinan. "Mulai dari proses pembuahan sampai anak usia 2 tahun akan terus dilakukan pemantauan," ujar dia.

Selanjutnya, proses persalinan dianjurkan dilakukan dengan cara caesar. Pasalnya, HIV banyak tersimpan di pembuluh darah atau lympfosit yang banyak terdapat di dinding rahim. Jika melahirkan dengan cara normal, bayi akan terpapar lebih lama dengan darah yang mengandung HIV. "Kalau dengan caesar, bayi akan lebih cepat dipisahkan dengan darah sang ibu," ujarnya.

Setelah lahir, lanjut dia, ibu harus memilih akan memberikan ASI atau dengan susu formula. Jika ingin memberikan ASI maka harus ASI ekslusif, namun jika ingin memberikan susu maka harus memperhatikan kekentalan dan higienitasnya.

Setelah lahir bayi akan diberikan ARV profilaksis sampai usia empat minggu. "Setelah usia dua tahun dilakukan pemeriksaan jika hasilnya negatif maka pemberian obat tersebut akan dihentikan. Tapi kalau hasilnya terdapat virus HIV maka obat tersebut harus dikonsumsi seumur hidup," pungkasnya. (Kompas.com)

Mantan TKI Sumbang HIV/AIDS Terbesar


Jumlah pengidap HIV/AIDS di Kabupaten Madiun, Jawa Timur, semakin meningkat setiap tahunnya. Sedihnya, pengidap paling banyak justru berasal dari pasangan heteroseksual suami istri yang memiliki riwayat pernah bekerja di luar Madiun, utamanya bekerja di luar negeri.

Dinas Kesehatan Kabupaten Madiun melaporkanselama tahun 2010 ditemukan sedikitnya 34 pengidap baru, di mana 13 orang di antaranya meninggal dunia. Pada tahun 2011, temuan pengidap HIV/AIDS baru sudah mencapai 14 orang hanya dalam kurun waktu tiga bulan. Adapun total temuan pengidap mulai tahun 2002 sampai sekarang mencapai 103 orang, di mana 35 di antaranya meninggal dunia.

Kepala Bidang Pemberantasan Penyakit dan Upaya Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Madiun Soelistyo Widyantono mengatakan, temuan kasus HIV/AIDS di wilayahnya tergolong tinggi karena rata-rata setiap bulan lebih dari empat kasus. Namun, yang paling mengejutkan dari temuan pengidap tersebut, sangat sedikit yang merupakan kelompok berisiko tinggi.

Paling besar justru masyarakat biasa, artinya pasangan rumah tangga yakni suami, istri, bahkan anak. “Tapi setelah dirunut, mereka memiliki riwayat pernah bekerja di luar negeri, seperti Malaysia, Arab Saudi, dan Hongkong. Minimal bekerja di luar Madiun, seperti Batam, Kalimantan, Bekasi,” katanya, Rabu (6/4/2011).

Sebagai gambaran, dari 14 temuan pengidap baru pada tahun 2011, hampir semuanya merupakan keluarga biasa, yakni pasangan suami, istri, serta satu orang anak. Hanya satu orang dari 14 pengidap baru tersebut yang berasal dari kelompok berisiko tinggi, yakni wanita pekerja seks (WPS). Sedihnya lagi, temuan pengidap HIV/AIDS didominasi oleh perempuan sebanyak sembilan orang dari 14 orang.

Upaya pengendalian penyebaran HIV/AIDS di Kabupaten Madiun menjadi sulit dilakukan karena mobilitas para pekerja ini sulit dipantau. Apalagi, setelah ditelusuri lebih jauh, rata-rata para pekerja yang terinfeksi positif adalah mereka yang berangkatnya melalui jalur tidak resmi alias ilegal.

Soelistyo mengatakan, sebagai upaya pencegahan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Madiun. Caranya, mengadakan penyuluhan tentang bahaya penyakit dan pentingnya melakukan pencegahan penularan penyakit kepada para calon TKI ataupun calon tenaga kerja yang akan berangkat ke luar kota.

Ia mengakui kasus HIV/AIDS di Kabupaten Madiun merupakan fenomena gunung es. Artinya, temuan pengidap saat ini hanyalah penampakan di puncak, sedangkan kasus yang riil yang cakupannya sangat besar justru belum terungkap. “Inilah yang dikhawatirkan oleh dinas dan perlu diwaspadai oleh seluruh kalangan,” katanya.

Kekhawatiran itu menjadi masuk akal karena berdasarkan data dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Madiun, jumlah tenaga kerja Indonesia asal Madiun tahun 2010 saja mencapai 2.836 orang, terdiri dari 356 laki-laki dan 2.480 orang perempuan. Itu belum termasuk TKI yang tidak mendaftarkan keberangkatannya pada dinas alias ilegal yang jumlahnya diprediksi tidak kalah banyak.

Kepala Bidang Penempatan, Pelatihan, dan Produktivitas Tenaga Kerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Madiun Suyadi mengatakan, berdasarkan negara tujuan TKI, paling besar bekerja di Hongkong sebanyak 833 orang. Selain Hongkong, tempat kerja yang paling banyak dilirik TKI asal Madiun adalah Malaysia sebanyak 748 orang dan Taiwan sebanyak 759 orang.

Sementara itu, Andreanus M Uran, Direktur Program Yayasan Bambu Nusantara Madiun, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang memberikan pendampingan terhadap HIV/AIDS, mengatakan, selain para pekerja, yang patut mendapat perhatian serius dalam upaya penanggulangan penyakit ini adalah generasi muda yang memiliki pergaulan bebas.

Indikasinya, mereka banyak ditemukan nongkrong di tempat-tempat hiburan malam, seperti tempat karaoke, kafe, dan diskotek. Pasalnya, dalam dua tahun terakhir ini di Madiun menjamur tempat-tempat hiburan malam dan parahnya lagi segmen pasar yang dibidik adalah kaum pelajar. (Kompas.com)

592 Pengidap HIV/AIDS akibat Heteroseks


Jumlah pengidap HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura, Papua, yang meninggal dunia pada 2010 sekitar 200 orang.

Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Jayapura Drs Purnomo, SE, di Sentani, Jumat (21/1/2011), mengatakan, jumlah tersebut meningkat dibandingkan pada 2009 sekitar 180 orang.

"Rata-rata yang meninggal akibat lambat mendapat pengobatan karena mereka baru memeriksakan diri pada saat sudah memasuki stadiun empat," katanya.

Ia mengatakan, karena penyakit tersebut dianggap sebagai aib yang tidak bisa diketahui oleh orang lain sehingga pengidap enggan melakukan pemeriksaan sebelum parah.

Pada 2009 jumlah orang dengan HIV/AIDS atau ODHA yang meninggal dunia sebanyak 180 orang, sementara pada 2010 meningkat sekitar 12 orang.

Dikatakan, pada 2010 jumlah pengidap HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura cukup tinggi, yakni mencapai 609 orang, yang terdiri dari laki-laki 242 orang, perempuan 367 orang, dengan rincian IRT 164 kasus, lain-lain 124 kasus, PSK 102 kasus, buruh/petani 61 kasus, PNS 37 kasus, pelajar/mahasiswa 41 kasus, dan swasta 57 kasus.

Dengan rincian usia 20-29 sebanyak 285 orang, usia 30-39 sebanyak 198 orang, 15-19 sebanyak 44 orang, usia 40-49 sebanyak 55 orang, dan usia 1-4 tahun sebanyak 12 orang.

Jumlah yang terbanyak dari Distrik Sentani 320 kasus, Sentani Timur 126 kasus, Kaureh 26 kasus, Nimboran 20 kasus, dan Distrik Sentani Barat 25 kasus.

Sebagian besar pengidap HIV/AIDS di bumi Kenambay Umbay ini tertular melalui hubungan heteroseksual sebanyak 592 orang, ibu ke anak sebanyak empat orang, dan transfusi darah sebanyak tujuh orang.

Purnomo mengatakan, penularan virus HIV/AIDS di Jayapura sudah cukup mengkhawatirkan jika dilihat dari data yang ada dari tahun ke tahun terus meningkat, meskipun yang baru terdeteksi adalah yang ingin melakukan pemeriksaan secara sukarela.

"Tidak ada distrik yang bebas dari HIV/AIDS, semuanya sudah terjangkit. Jadi ini yang membuat kami bekerja keras untuk memaksimalkan sosialisasi kepada masyarakat sampai ke kampung-kampung," ungkapnya. (Kompas.com)