Sabtu, 02 Juli 2011

Memupus HIV/AIDS



Berbagai persoalan di negeri ini membuat kita seolah lupa terhadap satu masalah yang sesungguhnya berdampak sangat dahsyat bagi masa depan bangsa. Semakin banyaknya penderita HIV/AIDS memberi pesan bahwa penyakit ini tak bisa dipandang sebelah mata.


Sayangnya, kepedulian terhadap orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) belum sepenuhnya tumbuh, baik dari pemerintah maupun masyarakat. Hari AIDS Sedunia yang diperingati setiap 1 Desember berlangsung seadanya.
Meski demikian, kita terus menggugah kesadaran semua pihak untuk peduli, sekaligus berupaya memupuskan penyakit yang satu ini.

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, sampai 30 Juni 2010, jumlah kasus AIDS mencapai 21.770. Angka itu berasal dari 300 kabupaten/kota atau sekitar 60 persen dari seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Hal itu berarti HIV/AIDS telah tersebar hampir merata di seluruh pelosok Tanah Air.

Sedangkan pengidap HIV tercatat 68.927, sementara pada 2005 tercatat hanya 8.000 kasus. Jumlah itu bisa melonjak drastis, bila rakyat sukarela memeriksakan diri apakah tertular HIV atau tidak, lewat voluntary counseling and testing (VCT).

Tak hanya itu, data yang lebih mengerikan adalah kasus HIV/AIDS tertinggi ditemukan pada kelompok usia produktif, yakni 20-29 tahun (48,1%) dan 30-39 tahun (30,9%). Sedangkan media penularan HIV/AIDS tetap didominasi oleh hubungan heteroseksual (49,3%) dan pengguna narkoba suntik (injecting drug user/IDU, 40,4%).


Media penularan lainnya lewat hubungan seks sesama lelaki atau dikenal dengan istilah “lelaki seks lelaki” (LSL, 3,3%) dan lewat persalinan (2,7%). Sedangkan data yang sedikit menggembirakan terkait kemampuan menekan kasus kematian ODHA. Kalau pada 2006, tercatat 46% dari total ODHA meninggal dunia, pada 2009 berhasil turun menjadi hanya 18%.

Dari data itu, ada dua fase penting yang harus dilakukan untuk menekan sekaligus memupuskan HIV/AIDS, yakni fase pencegahan dan pengobatan. Pada fase pencegahan, yang terpenting adalah menumbuhkan kesadaran melakukan VCT, khususnya di kalangan yang potensial terjangkit, yakni orang yang kerap barganti pasangan seks dan pengguna narkoba suntik. Sosialisasi menjadi kata kunci untuk menggugah kesadaran mereka melakukan VCT.


Namun, tak ada salahnya apabila aparat Kementerian dan Dinas Kesehatan serta aktivis HIV/AIDS menjemput bola dengan mendatangi lokalisasi untuk melakukan VCT. Hal itu juga ditunjang peningkatan unit VCT, dari 25 buah pada 2004 menjadi 789 tahun 2010 dan ditargetkan bertambah lagi menjadi 872 pada 2014.

Kita juga bisa meniru Pemerintah Afrika Selatan yang berani menetapkan target VCT. Hingga akhir tahun ini, pemerintah setempat menargetkan untuk mengetes 15 juta warganya.

Apabila ada yang positif tertular HIV, langsung diobati, sehingga virus yang menurunkan kekebalan tak bebas berkeliaran dalam tubuh, sekaligus mencegah penularan ke orang lain. Bahkan di Amerika Serikat, ada aturan yang mewajibkan warganya yang berkunjung ke layanan kesehatan untuk melakukan konseling dan memeriksa darahnya.



Selain itu, meski ada tentangan dari sebagian masyarakat, kampanye penggunaan kondom tetap harus dilanjutkan karena cukup efektif mencegah penularan HIV. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) masih mengeluhkan minimnya penggunaan kondom oleh kelompok berisiko, seperti pekerja seks dan pelanggan pekerja seks.


Fase pencegahan otomatis diikuti fase pengobatan karena pasti ada korban-korban baru. Sampai saat ini memang belum ada obat yang manjur untuk menyembuhkan penderita AIDS. Tetapi ada obat yang bisa memperlambat kerja virus di dalam tubuh yang dikenal dengan nama ARV (antiretroviral). Penyediaan obat ini jelas terkait dengan alokasi anggaran dari pemerintah.


KPAN mengeluhkan minimnya anggaran yang diberikan untuk penanggulangan HIV/AIDS. Pada tahun 2010 misalnya, KPAN membutuhkan dana Rp 240 miliar, tetapi yang tersedia hanya Rp 180 miliar. Dari dana yang minim itu, 70 persen merupakan dana bantuan luar negeri, yakni dari Global Fund, serta mitra internasional, seperti Australia, Eropa, Jepang dan Belanda.


Berdasarkan kenyataan itu, kita mendesak pemerintah dan DPR mengalokasikan anggaran yang lebih besar. Dengan total belanja APBN lebih dari Rp 1.000 triliun, tak berlebihan bila KPAN mendapat alokasi 0,05% atau sekitar Rp 500 miliar. Dengan dana sebesar itu, klinik pelayanan, dukungan, dan perawatan (care, support, and treatment/CST) pun bisa diperbanyak, sehingga kematian ODHA bisa lebih ditekan.

Terkait obat AIDS, hendaknya dilakukan penelitian intensif untuk menemukannya. Untuk itu, kita mendorong filantrop menyisihkan dana buat penelitian obat HIV/AIDS. Dukungan dana yang besar akan mempercepat proses penemuan obat AIDS. Kita yakin setiap penyakit pasti ada obatnya dan yang terpenting adalah pengendalian diri untuk menjauhi seks bebas dan narkoba. (Suara Pembaharuan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar